Beginilah keseharianku saat ini. Hanya menanti malam yang panjang. Jika malam kemarin sudah usai. Aku kan setia menantinya kembali nanti malam. Begitu seterusnya, hingga hari itu tiba. Hmm. Aku tak menyangka, bahwa sekarang aku selalu menulis. Menulis dan menulis. Haha. Ya walau tulisan ini tak jelas. Tulisan semua ini tak penting, tulisan ini seperti spam. Haha. Sorry. Ya anggap saja tulisan ini tak ada tuk kalian yang merasa terganggu. Memang terkadang egois sangat dekat dengan tidak memikirkan diri sendiri. Memang dekat, sangat dekat benci dengan cinta. Memang terkadang bahagia sangat dekat dengan kesedihan. Hahaha. dan memang sangat dekat pula keberaniaan dengan kepasrahan.
Bicara tentang keberaniaan dan kepasrahan. Aku punya banyak cerita. Yang pasti aku lebih sering memilih kepasrahan dibanding keberaniaan. Haha. Ya aku memang pengecut. Aku memang tipe orang yang pecundang. Aku, hanya menampakkan kepalsuaan. Keberaniaan yang dibuat-buat dan berhasil menjadi pakaian keseharianku. Ah, aku akhir- akhir ini sedang di tantang. Setidaknya jika keberaniaan sudah seperti menjadi pakaian keseharianku dan kepasrahanku yang berasal dari dalam jiwaku. Haha. Aku memang sering mengalami kontradiktif dalam kesehariaanku, terlebih dalam diriku.
Aku ingin berani, mengungkapkan perasaanku padanya. Namun sayang, aku masih ingat betul ketika. Ya ketika aku mengetahui ternyata ia sudah memiliki.
Hahaha. entah bodohnya aku, atau polosnya aku saat itu. aku tak henti-hentinya membodohi diriku hingga kini. Karena itu, aku sadar betul akan kebradaanku. Aku? Hahaha. mencintainya dengan sedikit platonis. Hanya menyadari betul aku sudah mencintainya, sekaligus aku hanya mencintainya jauh. Ya, seperti biasa hanya bisa memandangnya dari jauh, berdoa akan kebahagiaannya. Kuncinya jika ia baik-baik saja aku pun bisa ikut baik-baik saja. Karena aku sudah sadar betul bahwa cinta itu tak egois. Aku hanya mencintainya dengan tulus. Berkali-kali. Hatiku dan pikiranku bertentangan mengenai dirinya. Ya, dia yang seperti itu, dngan segala kekurangan dan kelebihan yang di punya, aku entah mengapa masih menyukainya. Yang pasti aku tak tahu betul dengan rencana Tuhan yang satu ini.
Hahaha. entah bodohnya aku, atau polosnya aku saat itu. aku tak henti-hentinya membodohi diriku hingga kini. Karena itu, aku sadar betul akan kebradaanku. Aku? Hahaha. mencintainya dengan sedikit platonis. Hanya menyadari betul aku sudah mencintainya, sekaligus aku hanya mencintainya jauh. Ya, seperti biasa hanya bisa memandangnya dari jauh, berdoa akan kebahagiaannya. Kuncinya jika ia baik-baik saja aku pun bisa ikut baik-baik saja. Karena aku sudah sadar betul bahwa cinta itu tak egois. Aku hanya mencintainya dengan tulus. Berkali-kali. Hatiku dan pikiranku bertentangan mengenai dirinya. Ya, dia yang seperti itu, dngan segala kekurangan dan kelebihan yang di punya, aku entah mengapa masih menyukainya. Yang pasti aku tak tahu betul dengan rencana Tuhan yang satu ini.
Ah sungguh, jika aku mampu mengumpulkan kenekatan yang aku punya, mungkin tak cukup mampu bagiku untuk mengutarakan perasaan ini. Sungguh aku sangat ciut, sangat sangat ciut berhadapan dengan ini, haha. Mungkin jika ada pilihan, aku lebih suka mengeluarkan kenekatan seperti berjalan di gelapnya malam di dalam hutan, sembari memutarkan lagu yang aku takuti, di banding mengatakan padanya “aku mencintaimu”. Hahaha. entah apa yang terjadi pada diriku sendiri. Aku hanya, hanya seseorang yang menurutku telah berhasil mengenal dirinya sendiri. Aku sudah sadar betul dengan ketiga sudat pandang yang dimiliki manusia. Aku sudah mulai menunggangi kudaku. Ya walau masih proses. Namun bukannkah proses lebih penting dari pada hasil? Menurutku kata-kata seperti hasil takkan mengkhianati proses itu kurang tepat. Karena jatuhnya, kata-kata ini bisa jadi menjadikan diri kita pamrih. Dan jika kita hanya mengandalkan hasil, namun ternyata hasil itu tak sesuai dengan harapan, pasti aku yakin ada rasa penyesalan karena ia harus menjalani proses. Tau gitu, ya kata-kata sepele namun berdampak besar dalam diri manusia. Kalau aku bisa mengutarakan, lebih tepatnya karena proses tak mengkhianati proses.
Ya, karena pada dasarnya proses, apapun itu itu adalah jiwanya. So jika suatu saat kita gagal, kita hanya perlu bangun, bangkit dan mengulang proses lagi. Jika kita berhasil. Kita juga harus mengulangi lagi proses. So, apa bedanya berhasil dan gagal?
Ya, karena pada dasarnya proses, apapun itu itu adalah jiwanya. So jika suatu saat kita gagal, kita hanya perlu bangun, bangkit dan mengulang proses lagi. Jika kita berhasil. Kita juga harus mengulangi lagi proses. So, apa bedanya berhasil dan gagal?
Aku memang berbeda dalam menilai sesuatu. Ya,sebenarnya bukan aku saja, tetapi hampir semua orang memiliki perbedaan. Karena memang kita ditakdirkan berbeda. Memang kita berbeda. Aku hanya mengatai diriku berbeda, mungkin karena hanya aku saja yang mengetahui apa yang ada dalam diriku. Begitupun dengan lainnya. Tak ada yang mengetahui diri kita selain kita sendiri dengan Sang Pencipta bukan? Kita akan selalu merasa berbeda. Apapun yang orang lain bicarakan, apapun orang lain nilai, itu hanya sebatas mereka melihat. Tetapi diri kita? Haha, kita membuat, merancang, mengolah, memutuskan, dan melaksanakan apa yang ingin kita lalkukan. Dan yang pasti hanya diri kita yang tahu akan kita sendiri. Lantas bagaimana dengan orang yang tak mengenali dirinya sendiri? Mustahil kan? Haha. Memang secara nalar tak mungkin itu terjadi, namun pada kenyataannya itu terjadi. Dan banyak yang tak ingin berkenalan dengan dirinya sendiri. Atau banyak juga yang tak sadar dengan dirinya sendiri.
Ah, entahlah.aku tak ingin begitu mengurusinya, yang pasti aku sedang memancangkan tiang yang kokoh. Tidak paten tidak, karena tiang itu masih bisa dibawa pergi kemana-mana. Dan begitulah saya, saya masih sangat fleksibel dengan semuanya.
Haha. Yang pasti saat ini kesehariaanku tak bisa terlepas dari menulis, berada di depan laptop, merenung, dan tak bisa lepas barang semenit memikirkannya.
Karena,aku sungguh rindu padanya. Aku menyukainya. Aku menyayanginya, dan aku mencintainya.
Namun sayang, rindu itu hanya memantul di dinding kamar. Dan tak ada yang tahu, kapan rindu itu sampai padanya.
Sayang, aku hanya menyukainya, tetapi aku tak berani berkata jujur padanya. Aku hanya menyayanginya, tanpa bisa berada disampingnya. Aku hanya mencintainya, dan tak bisa melakukan apapun untuk kebahagiaan dirinya. Aku memang pengecut dan lagi-lagi aku berada dalam kepasrahan tanpa kesudahan. Aku mencintaimu tanpa pamrih. Aku mencintaimu, ta. Hanya mencintaimu, tak menuntut memilikimu.
~Marsyasataly~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar