Jumat, 04 Desember 2015

Kawan baru

“Tidak. Mengapa aku lurus terus? seharusnya dipertigaan itu aku belok. Bukankah aku ada jadwal kuliah hari ini?” batinnya bertanya pada dirinya sendiri.

Pagi itu. saat matahari sepenggal naik, gadis itu seharusnya pergi ke kampus. Ia ada jadwal kuliah. Namun entah mengapa tangannya tak ingin berbelok saat pertigaan itu sudah dilihatnya. Ia hanya ingin jalan lurus saja. Ya. tepat. Ia secara tak sadar menghampiri kawan-kawan barunya. Bazar buku tahunan itu benar-benar menyilaukannya. Menjadi pusat perhatiannya, dan alhasil kelakuannya akhir-akhir ini sedikit aneh karena ia memikirkannya terus.

“owalah, Sya Sya. Kamu ini ngebet atau bagaimana sih?” setelah ia memarkirkan monsternya ditempat parkiran itu. Bukan, bukan monster asli. Melainkan motor kepunyaan kakak iparnya yang sudah dua tahun ini selalu menemaninya, menghantarkan gadis itu pergi semaunya,  sesekali menjadi tempat ia berekspresi dan ya. Setidaknya sebagai teman cerita saat ia mengendarainya sendiri.

  ***
 Tinggalkanlah gengsi, hidup berawal dari mimpi, gantungkanlah yang tinggi agar semua terjadi, rasakan semua peduli ironi tragedi, senang bahagia hingga kelak kau mati...........

Lagu sambutan untuknya. Karena tepat saat ia datang, lagu itu muncul. Batinnya berkata , “yaps, hidup memang berawal dari mimpi, dan penunjang mimpiku ada disini.”
Marsya, Marsya. Memang bukan dia kalau sudah begini. Ia benar-benar menelusuri satu persatu setiap kumpulan buku. Dengan harga-harga yang menggiurkan baginya, sehingga jika boleh, ia ingin mengambil semua buku yang diinginkannya itu. Semua pose sudah ia lakukan, dari mulai berdiri tegak,menunduk, seperti pose sedang rukuk, jongkok,berlutut dan ya, ia sampai duduk di lantai. Ia tak memerdulikan orang-orang yang sedang berlalu lalang. Ia hanya sedang menyelami satu persatu buku-buku yang berjejer rapi namun tak sepadan. Benar-benar satu persatu ia melihatnya,mencermati dan memutarinya. Buku yang menarik menurutnya ia kumpulkan, dan ia menaruhnya dipojok kumpulan buku itu, dan ia berkata pada mereka, “ baik-baik disini. aku segera kembali.” Ya begitulah tingkahnya. Setelah itu, ia pindah ke kumpulan buku lainnya, semua dilakukan persis seperti itu. Hingga kumpulan buku ke kelima, ia mendapat pesan singkat dari DJ.

Sya, ga berangkat kuliah?
Gak. Lagi sakau. Balasnya singkat
Sih cocote. Kamu lagi kenapa sih?

Ia tak ingin membalasnya. Ia segera memasukan ponselnya ke saku, setelah itu ia melirik ke jam tangannya, jam sepuluh batinnya. Masih lama jemput Dinda, sang adik yang rewel + manja + cempreng. “Jangan sia-siakan waktu, ayo cari lagi”, batinnya berkata. Ia menyelusuri satu persatu lagi kumpulan buku-buku itu. “ah yang ini bagus, yang ini juga menarik, lah-lah ini juga kayanya menggugah. Waduh, kumpulan buku yang pertama udah ada lima, yang kedua udah ada tiga, yang itu, tujuh, Yang ini tiga lagi. Buset, harus di seleksi lagi nih”, batinnya berucap.

Bazar itu sebenarnya masih sepi, hanya beberapa pengunjung saja, karena ia baru buka satu jam lalu, dan beberapa menit kemudian gadis ini datang. Sepi memang, namun menurutnya ini tempat ramai. Mungkin karena batinnya selalu ramai dengan komentar,pertanyaan maupun apapun yang ia lihat disana. Ia bertanya, lalu menjawab. semua pertanyaan yang muncul, seketika ia coba jawab sendiri. Tak heran konflik batinnya benar-benar sedikit melelahkan. Ini semua terjadi karena ia datang sendiri, mungkin. Sebenarnya ia tak ingin sendiri, apa lagi menyendiri. Hanya saja,terkadang saat-saat tertentu ia memilih untuk sendiri. Karena menurutnya sendiri itu tak selalu menyedihkan. Karena dengan sendiri, seseorang biasanya baru menghadirkan Sang Pencipta. Tiba-tiba terdengar bunyi ponselnya, ada satu pesan singkat dari ibunya.

Sya nanti ada jadwal ngeshift gak?
Ada mak.

Beberapa detik kemudian, ia menulis pesan singkat untuk ibu yang telah mengandungnya,

I love you

Hanya itu, ia merasa sangat bersalah, karena tak mengindahkan kata-katanya. Ia masih membangkangnya. Masih semaunya sendiri, dan sudah pasti belum bisa dikatakan masuk kategori anak baik, setidaknya belum untuk saat ini. Selang beberapa menit, terdapat pesan masuk,

I love you to balas ibunya singkat. Setidaknya pesan pendek itu membuat senyumnya mengembang diwajahnya. Sesaat ia melihat sekelilingnya, ia bergumam “hidup memang hidup.”

Ia melanjutkan pencariannya, dari sudut satu kesudut lain, tumpukan buku satu ke buku lain, dari keramik satu ke keramik lain. Tak jemu-jemu ia melakukannya, dan pikirannya begitu ramai, seperti pasar mungkin, karena ia benar-benar ingin membeli semua buku itu. dan tak lama pikirannya dibuyarkan oleh ponselnya yang berbunyi, terdapat pesan singkat di layar ponselnya. Dan tebak siapa dia? Ya. Pesan singkat dari Atsar.

Sya, ke bazar yuh...
Aku sudah dari tadi disini. sini aja.
Ada buku penunjang kuliah?
Sudahlah, kesini saja dulu.
Oke. . .

Benar Atsar. Atsar yang sudah beberapa minggu menghilang entah ditelan apa. Minggu ini ia datang, karena Marsya memberitahunya ada tugas kelompok dan mereka seperti biasa menjadi satu kelompok, karena kelompok itu ditentukan dengan cara urut absen. Tidak. Sebenarnya tak usah urut absen pun mereka sering satu kelompok. Sebenarnya Marsya sudah malas menghubunginya, karena ia mulai risih dengan Atsar yang malas-malas berangkat kuliah, terkadang telat menumpukkan tugas. Ia sering sekali baru mengetahui ada tugas saat tugas itu sudah harus dikumpulkan. sesekali ia memang mengirim pesan singkat pada Marsya bertanya-tanya tentang kabarnya dan tentang proses kuliah, hingga suatu ketika Marsya membalasnya dengan sadis.

Lain kali makannya kau berangkat. biar kamu tahu sendiri tugas apa yang diberikan dosen, jangan kaya gini lah! Tugas selalu dibuat dadak, pasti ngerjainnya gak total pak! Kamu lagi apa-apaan sih. Kalau ada apa-apa cerita, jangan ilang-ilangan kaya gini.
Ya begitulah Marsya, ia memang seperti itu. saat mengingat kejadian itu ia tersenyum tipis, “maaf pak. Hehe abis nyeselin sih”, ujar batinnya lagi. Sepuluh menit kemudian, Ada seseorang yag menyenggol tasnya. Dan orang itu adalah Atsar. Ia berucap “sudah beli apa saja kamu Sya?”
Marsya menoleh, sejenak ia diam. Batinnya bersyukur,” syukurlah, aku tak sendiri.”

“Sya, udah pilih apa aja bukunya?”

“ehhhh, iya... belum baru lihat-lihat, tapi disetiap kumpulan buku-buku itu, buku yang menarik sudah ku taruh disetiap sudut-sudutnya. Nanti tinggal diambil pak. Hehe. Kamu cepet amet sih“ sambil menunjuk setiap kumpulan buku-buku itu.

“owalah, mesti banyak banget ya? Cari yang benar-benar butuh aja Sya,haha gak lah orang deket juga. hehe” dengan muka yang tanpa ia sadari mulai memerah.

“iya dink deket, iya pasti cari yang dibutuhin. Hm, ga ada dosen apa? Harusnya kamu kuliah kan?”

“gak gak dateng, Cuma diberi tugas suruh analisis,”

“owalah,haha. Berarti aku ga bolos ya, berarti instingku tepat ya pak hehe”

“ya ga tepat banget, suatu kebetulan aja. Coba kalau tadi ada dosen, bearti kamu bolos. Besok-besok jangan bolos lah. “

“yee, ngaca dulu donk. Situ yang sukanya bolos keles,”

“ya makannya, nanti kalau aku bolos, kamu bolos, terus kalau ada tugas atau info apa yang ngabarin siapa? Kaya kuliah teori itu, aku sama kamu maju presentasi bareng itu, itu aku juga tahu dari kamu, nanti kalau kita sama-sama jarang masuk, terus siapa yang ngasih tahu?”

“ oh jadi kamu cuma manfaatin aku apa pak?” sambil memicingkan mata

“hahaha,,gitu aja marah, gak lah, bukan gitu maksudnya. Kamu perempuan, ya harus rajin.”

“oh jadi mentang-mentng kamu laki-laki jadi seenaknya sendiri? Gender banget sih?”

“ udah, udah lah. Aku yang salah,hehe. besok-besok gak bolos lagi deh.”
Ya begitulah, sering sekali mereka berdebat seperti itu. Marsya memang jarang memanggil Atsar, ia sudah terbiasa memanggilnya dengan sebutan Pak. “Pak Jendral” batinnya, karena Atsar bercita-cita menjadi pelindung bangsa ini, semoga saja.


“waduh, udah jam sebelas, aku harus jemput Dinda pak. Aku tinggal dulu ya, kamu mau pulang apa gimana?”

“ya tak tunggu disini. bentar kan?”
Ia melaju motornya, hanya beberapa menit saja ia sudah di tempat Bu Toha sebenarnya ia sering memanggilnya dengan nama Bu Jeruk, karena ia berjualan es jeruk dulunya, walau nama aslinya adalah bu Fatma.haha, teserah Marsya memang, ia suka sekali mengganti nama orang. Katanya biar lebih mesra.

Perlu diketahui, jarak tempat bazar dan sekolah Dinda dekat, hanya tujuh menit jika memakai motor. Bu Toha adalah pedagang yang sudah berdagang bertahun-tahun didepan sekolah Dinda, bersama Si Dul, pak Mamo, Pak Cimol dan yang lainnya. Sudah sejak delapan tahun lalu, tepatnya Marsya duduk dibangku kelas satu SMP, ia sering duduk-duduk bersama mereka. Dan alhasil hingga saat ini tempat itu menjadi tempat favoritnya. Ya setidaknya ada tempat untuk duduk disana. Hingga ia mengenal Melisa satu tahun lalu, mengenal Saka dan teman-temannya. Bu Toha memiliki tiga anak, Febri, Deka, dan Destri. Ketiganya dekat dengan Marsya. Bahkan anak terakhir Bu Toha itu, Si Destri, lahir saat Marsya kelas satu SMA, jadi sudah tak bisa dielakan lagi bagaimana hubungan bu Toha sekeluarga dengan Marsya.

“Aduh, Febri mau pulang. Ini pak Toha kemana lagi?” “owalah, kok pulangnya gasik banget bu?”

“iya lagi ujian semsteran mba Marsya, gimana ya? Mba Marsya lagi sibuk gak?” dengan muka bingungnya. Kawaitr jika anak pertamanya tak bisa pulang. Sejak Febri beberapa bulan ini tak bisa jalan, dan hanya biisa menggunakan tongkat. karena kecelakaan yang ia alami, sehingga memaksakan Bu Toha dan pak Toha mengantar dan menjemputnya.

“haha,,,sini. Aku yang jemput. Wiber kan, tapi ancer-ancernya mana sih ya bu?”
Setelah bu Toha memberi denahnya, bu Toha berucap “aduh mba Marsya, aku ga enak loh. Itu kan agak jauh.”

“lah, naik motor ikih koh, yaudah aku jemput ya. Nanti kalau Dinda keluar, tolong suruh tunggu bentar ya bu,”

“iya oke makasih banget ya mba,,,”
Sesaat kemudian, ia melesat bersama monsternya itu, tanpa berlama-lama ia menjemput Febri lalu langsung mengantarnya pulang. Setelah itu, ia cepat kembali ke Bu toha, disitu sudah ada Dinda yang menunggunya. Ponselnya berdering, Atsar tulisan yang muncul di ponsel. “halo, ya bentar lagi aku kesitu.”kata Marsya. “oke ati-ati” balasnya. Ternyata Atsar sudah menghubungi Marsya berkali-kali, mungkin ia lelah menunggunya terlalu lama.
Seketika itu juga, ia mengajak Dinda untuk pulang kembali ke bazar. Sebentar ia berpamitan pada semua dan akhirnya ia melesat lagi ke tempat bazar itu. Ia lalu memamerkan ke Dinda buku apa saja yang mau ia beli. Seketika Dinda hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti tak bisa mengikuti alur berfikir sang kakaknya ini. Setelah Marysa memilih buku yang benar-benra ia beli, ia segera bersama Dinda dan Atsar pergi ke tempat pembayaran. Sang penjaga bazar pun tercengang, ia berucap,” mau disumbangin apa mba buku-bukunya? Atau buat perpustakaan sekolah?”
Marsya hanya membalas,” gak mas, buat sendiri aja. Hehe.”

Yang buat terheran lagi, Marsya menolak untuk memasukan buku-bukunya yang ia beli ke kantong plastik. Ia hanya berbicara singkat “ taruh disini aja mas,” sambil mengeluarkan tas dari dalam tasnya,

“oh,ternyata ada tas dalam tas ya mba,,”

“haha,, iya.”

“udah mas, terserah dia aja mas, haha. Dia cinta lingkungan mas. Setiap hari dia juga ngebersihin kampus, matiin lampu kelas-kelas yang gak dipakai,mematikan air kamar mandi,dia udah kaya pegawai kampus yang gak pernah dibayar mas. hehe” saut Atsar dengan nada sangat antusias.

“sialan ya Pak, awas lu.” Bentak Marsya sambil menunjukkan kepala tangannya.

Si Dinda hanya geleng-geleng kepala. Ia hanya berucap “kacang kacang. Kacang mahal.”

Setelah pembayaran selesai, dan buku-buku yang berjumlah duapuluh tujuh itu, semuanya sudah masuk ke dalam tasnya, sehingga ia menggendong dua tas sekaligus, didepan dan dibelakangnya, dengan wajah yang berbinar-binar sesekali merangkul tas yang berisikan buku-buku yang ia pilih dengan selektif. Seperti memilih calon PNS mungkin. Begitu keluar,Ia merasa benar-benar sangat lapar. Mungkin efek memilih kawan-kawan barunya itu. benar-benar melelahkan. Setelah mereka keluar, mereka lalu berpisah. Atsar pulang ke arah timur dan Marsya ke arah barat.

Sesampainya dirumah, ia melihat jam. Waktu menandakan pukul satu. Dan itu artinya bentar lagi ia harus bekerja. Saat bertemu ibunya, ia hanya langsung reflek mencium pipinya, dan berkata “jangan marah ya mak”. Setelah itu ia bergegas untuk bekerja.

Saat bekerja, entah mengapa ditengah jalan ia merasa hampa. Mungkin karena Marsya sedang kedatangan tamu, sehingga ia agak jauh dari Penciptanya. Dan karena itu pula, ia merasa rindu teramat, entahlah. Tiba-tiba ia memikirkannya, memikirkan pemuda itu. bukan Atsar melainkan Ata.
Hingga jam bekerjanya selesai, ia langsung bergegas untuk pulang. Biasanya ia duduk-duduk sebentar melepas lelahnya. Setelah pulang, ia kemudian menemui kawan-kawannya dan mulai mengenal mereka sedikit lebih dalam. Dan alhasil ia langsung berkenalan dengan kawannya itu, semalam suntuk. Namun, tiba-tiba, pikiran itu muncul lagi. Yaps, pemuda itu lagi. pemuda yang sudah seperti bertahun-tahun tak bertemu dengannya, ia benar-benar tak tahu menahu bagaimana kabarnya sekarang. Ia benar-benar ingin sekali bertemu. Ya setelah sekian lama dan saat kejadian itu. Hanya saja, ia sadar betul. Betul-betul sadar. Ia selalu sadar, bahwa ia bukan siapa-siapa. Ia benar-benar tak pernah mempunyai niat untuk merusak hubungan orang. Ya, ia menyadari betul apa yang selama ini ia lakukan salah. Namun, ia juga salah jika mendiami dan seperti seakan-akan tak mengenalnya.
Teringat sekali dibenak Marsya, saat ia benar-benar menyadari bahwa ia menyukai pemuda itu. ha ha. Hanya selang beberapa hari ia baru mengetahui bahwa ia ternyata milik orang lain.

“Oh My God. Ampunilah hamba-Mu ini, aku salah, tak seharusnya aku mempunyai perasaan ini”

Setelah itu, Marsya mencoba benar-benar menjauh, tak berusaha menjauh sekali, tidak. Namun ia berusaha, sangat berusaha untuk menghilangkan rasa itu. ia benar-benar akan selalu memang teguh perkataannya bahwa ia tak kan pernah menyukai seseorang yang sudah menjadi milik orang lain. Hingga cinta pertamanya saat SMA itu, ha ha. Ia pun langsung menghilang dan mencoba tak menggangu cinta pertamanya itu bersama kekasihnya.
Benar, ia berbeda dengan kebanyakan perempuan. Ia benar-benar beda. Ia bukan perempuan yang tidak tidak. Maaf maksudnya, ia benar-benar tidak mudah jatuh cinta, ia benar-benar sangat susah untuk menyukai lawan jenisnya, ia benar-benar selalu menjaga apapun yang harusnya dijaga. Batinnya selalu berkata, “semuanya hanya milik suamiku. Kelak.”

Sesaat pikirannya bernostalgia dengan apapun yang sudah ia lakukan bersamanya. “ah, sudahlah.” Batinnya berkata pelan. “hanya kepada-Mu aku pasrah Ya Alloh, berikanlah yang terbaik untuk semuanya. rencana-Mu pasti lebih indah. dan, ku mohon Ya Alloh, lindungilah ia, lindungilah Ata. berikanlah kebahagiaan padanya, dan semoga ia selalu baik-baik saja.

Setelah itu, ia menutup bukunya yang sedari tadi dengan posisi terbalik. Ia mematikan lampu, beritual sejenak dan ia memejamkan matanya untuk hari ini. “Terima kasih Tuhan, terimakasih untuk hari ini.”

                                                                                031214 : 00:23:19        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar