gadis itu,
Udara malam menyapanya. Dingin memang, namun menurut gadis itu, ini tak seberapa di banding dinginnya udara di pagi hari. Hari ini, fisiknya baik-baik saja. Hatinya? Jangan ditanya, yaa seperti itu saja. Jiwanya? Haha. Nah ini. Jiwanya seperti musim kemarau, gersang, surut, kering kerontang.
Maka nikmat Tuhan, manakah yang kamu dustakan?
Oh, Tuhan. Terbesit kalimat itu di benaknya. Sungguh gadis itu sedang berhenti di pinggir jalan. Tidak melihat sekelilingnya tidak. ia hanya ingin duduk bersandar di badan pohon besar. Ia meletakkan semuanya di pohon itu. lelah, letih, kebingungan, keresahan, apapun itu yang mengganggu hati. Sesaat kemudian ia tersenyum kecut. Sangat kecut hingga menimbulkan lipatan kecil di kelopak matanya. Detik selanjutnya, kelopak mata yang kecil itu mengeluarkan satu butir air. Di susul dengan jatuhnya butiran air mata yang begitu deras tanpa suara.
Kali ini, tak ada satu batang, terlebih gumpalan kecil asap hitam itu. mungkin ia telah sadar betul, fisiknya mulai lemah. Ia tak ingin membunuh dirinya sendiri dengan amat perlahan, dan ia sadar, hidupnya sangat berharga dan patut di perjuangkan.
Pantulan lampu jingga menyinari jalan raya di depannya. Detik ini, gadis itu berhenti menangis. Ia mulai membenahi posisi duduknya. Semburan angin lalu keluar dari lubang hidungnya. Sekali lagi, ia menghela nafas panjang dan memaksa angin itu keluar. “haha” terdengar samar ia tertawa dengan datar.
Suara klakson terdengar bersautan dari jauh. Motor mobil berlalu lalang melintas dan sesekali muka jalan lengah hanya terdengar bunyi jangkrik yang bersautan. Sudah hampir satu jam gadis itu berada disana. Tak ada tanda- tanda ia akan bergegas pulang, hingga tiba- tiba gerakan kepalanya menunduk sejadinya ke dalam lekuk tubuhnya yang mulai kehilangan tenaga.
Entah apa yang ia lakukan, yang pasti itu hanya sebentar. Sesaat setelah itu, gadis itu mulai bangun dan bergegas pergi dengan motor kesayangannya. . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar