“Sya, kamu bisa kesini gak?” Ujar Saly.
“Sekarang? Aku baru selesai ngeshift Sal, gimana?”
“aku benci, sebel banget. Sinih kamu temenin aku.” Dengan nada setengah membentak.
“ada apa memangnya Sal? Kamu marah sama aku gara-gara aku sekarang gak ikut kumpul? Sorry, aku lagi bener-bener gak ada waktu Sal. Tugas kuliah lagi banyak, kalau ada jadwal langsung ngeshift, kalau gak aku ngerjain tugas.” Sambil memindahkan ponsel ke telinga kirinya.
“lah gak mau tau. Sekarang kamu kesini. Aku getet banget, pengin nimpuk orang. Angga dihubungi gak aktif. Pada kemana sih?” dengan nada mulai meninggi.
“yang lain gak ada apa? Aduh gimana ya, aku bener-bener cape banget koh Sal. Tadi aku double shift kerjanya. Berangkat jam tujuh pagi pulang jam sembilan malam ini. Besok pagi aja gimana?”
“yahhhhhhhh. Yang lain dihubungi susah. Ini juga aku ngubungi kamu paling akhir. Kata Mei kamu emang lagi sibuk banget. Sinih bentar sih.” Dengan nada memelas.
“ada apa emangnya? Bapak ibu gak pulang lagi apa?”
“ kalau gak kesini kamu bakal nyesel!” kata Saly dengan nada benar-benar membentak.
Tut tut tut. Seketika itu Saly mematikan telponnya. Saly adalah teman Marsya. Tidak begitu dekat. Hanya saja mereka sering berkumpul bersama. Saly bisa dibilang pacar Angga. Namun mereka tak pernah mengumumkan secara resmi status itu. Angga adalah adik kelas SMP Marsya. mereka dekat karena dahulu Angga dan Marsya tergabung bersama menjadi anak basket. Saly memang baru lulus SMA tahun ini. Ia begitu labil, sangat labil, mungkin karena ia masih berumur tujuhbelas tahun. Ia jauh dari orang tuanya, saat ini ia tinggal bersama pamannya. Namun tak serumah, rumahnya hanya berhadapan dengan rumah pamannya. Ia tinggal sendiri karena ia anak tunggal. Karena itu pula, rumahnya menjadi markas besar anak-anak. Angga biasa menyebut markas sama rasa, satu nada. Karena anak-anak yang biasanya datang kesitu memiliki masalah. Apapun itu. Hanya saja, mereka masih selalu mengingatkan agar tidak terjerumus ke hal yang tidak-tidak. Karena hanya anak-anak kelas kakap yang benar-benar menggunakan mabes menjadi tempat untuk nge-fly. Hanya dua sampai tiga orang. Itupun jarang sekali. Yang lain, biasanya hanya mampu menghabiskan berbungkus-bungkus rokok dan bermain-main dengan minuman soda. hanya Marsya dan Widi yang masih benar-benar waras jika mereka sudah berkumpul. Sesekali memang dua orang itu ikut, hanya saja hanya satu dua hingga tiga batang saja. Setelah Marsya bekerja dan Widi sedang skripsi, mereka mulai jarang sekali menongkrong. Angga pun juga mulai waras karena ia dekat dengan Marsya.
“Ngga, kamu dimana? “ kata Marsya sesaat mendengar telponnya sudah terhubung
“Aku di Banyumas. Ada apa?”
“Saly lagi kalap tuh. Aku sekarang mau ke mabes. Kamu lagi ngapain? Bisa ke mabes gak?”
“hah?seriusan? kamu jangan kesitu. Aku Cuma cari angin. Aku pulang sekarang. Kamu jangan kesitu.”
“aku udah sampai gangnya. Kamu makannya agak cepet ya. Dia tadi bilang kalau gak kesini
Aku bakal nyesel. Aku takut dia nglakuin sesuatu yang gak gak.”
“Sya, jangan kesitu. Pulang!”
“kenapa sih? Udahlah, aku juga gak main. aku cape. Aku Cuma kesiitu bentar. Kamu kesini, aku langsung pulang. Cepet dikit ya.”
“ Sya, mending kamu gak usah kesitu. Istirahat aja kamu.”
“hm. Makanya cepet kesni.” Marsya lalu menutup telponnya.
Disatu sisi Angga benar-benar kawatir. Ia benar-benar melaju motornya dengan cepat. Ditelponnya Widi untuk kerumah Saly itu, hanya saja ia sedang diluar kota. Angga hanya takut Marsya menjadi korban.
“ Assalamu’alaikum Sal,” kata Marsya sesampainya dirumah Saly. Terlihat tertutup rapat tak ada orang. Marsya lalu membuka pintunya, dan mabes yang biasanya rapi, setidaknya tidak termasuk dalam daftar kapal pecah, saat ini markas itu benar-benar berantakan. Benar-benar berantakan. Seketika terdengar bunyi kaca pecah. Marsya lalu berlari menuju kamar Saly, dan benar. Ia sudah memecahkan barang-barang yang berada dikamarnya. Batin Marsya berkata belum telat, syukurlah.
“kamu kenapa Sal? Tenang dulu. Tenang.”
“seketika Saly meraung-raung, menangis besar dikamar itu. Marsya hanya bisa mendekatinya pelan lalu mengelus-elus punggungnya. Setelah Saly sedikit tenang, ia menatap Marsya, seketika itu juga ia menggigit lengan kiri Marsya. Marsya sontak kaget, ia kesakitan, namun ia menahan rasa sakit itu. Marsya hanya berfikiran mungkin hanya ini yang bisa ia lakukan.
Setelah gigitan pertama muncul. Ia menggigit lengan kanan Marsya, melepasnya. Lalu menggigitnya kembali. Sambil berkata “aku geget. Aku benci. Aku sebel.” Dan berakhir dengan remasan yang sangat kuat dengan kekuatan seluruh tenaganya ke lengan Marsya. Marsya tak kuat, hingga ia hanya berkata,” sakit”.
“sakit Sal.”
Saly benar-benar menghiraukan perkataan Marsya. sejenak ia menyulutkan sebatang rokok dan berkata,” aku benci.”
“benci sama siapa?aku kah?” saut Marsya, sambil mengusap kedua lengannya pelan.
“bukan. Emangnya kamu pernah buat salah.”
“lalu? Terserah kamu, mau cerita apa gak. Setidaknya aku sudah datang kesini. Jangan bertindak bodoh Sal.”
“ ah. Persetan. Ia memukul punggung Marsya dengan kuat.”
“Sal, tenang Sal. Tenang.” Kata Marsya. Sambil memegang kedua tangan Saly.
Seketika itu, ia menggigit Marsya dengan gigitan paling keras. Sangat terasa, karena Marsya meronta kesakitan. “Sal, bener. Sakit.” Marsya sudah benar-benar lelah. Hingga ia melepas kedua tangan Saly. Dan ia hanya berkata dalam hati, “ aku ridho Ya Alloh. Ikhlas, astagfirulloh, kuatkanlah Hamba.”
Terus dan terus Marsya menyerah, ia benar-benar membiarkan Saly menggigit, memukul dan meremas lengannya. Hingga akhirnya, terdengar suara motor didepan rumah. Selang beberapa detik, suara Angga sudah terdengar memanggil nama kedua gadis itu. Dan saat melihat keduanya, ia langsung menampar Saly. Benar. ia langsung menyadarkan Saly, agar ia sadar dengan apa yang ia lakukan itu salah. Marsya yang sedari tadi sudah sangat lelah hanya tersenyum tipis, syukurlah. Ia hanya berfikiran untuk langsung pulang kerumahnya. Karena jam malam berlaku, dan lengannya benar-benar terasa nyeri teramat sangat. Angga yang melihat Marsya, seketika langsung memapah marsya,
"kamu tidak apa-apa Sya? Tadi sudah aku katakankan. Aku lihat coba sini,” sambil memegang lengan Marsya.
“aduh, sakit Ngga. Gak papa koh, paling Cuma sakit bentar.”
“alah, gak usah bilang gitu. Aku tahu Saly, dia gak pernah tanggung-tanggung kalau lagi gitu. Pasti tadi kamu benar-benar jadi pelampiasannya. Maaf banget Sya, maaf banget.”
“sante aja. Aku pulang ya, kamu juga hati-hati. Tenangin saly ya. Minta maaf juga kamu ke dia, tadi kamu udah ngawur banget.”
“bener gak papa? Aku hubungi Gandi ya biar anter kamu pulang. Kamu keliatan lelah banget, pesti juga lengan kamu kesakitan,”
“udah gak papa. Aku pulang ya. Pamiti ke Saly.”
Marsya sudah benar-benar tak kuat, batinnya berkata, ayo cepat sampai rumah. Ia melaju sangat kencang, sangat-sangat kencang, dan lampu hijau memang lagi bersahabat dengannya. Hampir setiap perempatan yang ia lalui, hampie selalu lampu hijau, sehingga ia tanpa henti, terus saja menyelusuri jalanan yang mulai sepi.
lagi-lagi air matanya tumpah. kali ini, air matanya keluar karena Ia merasa benar-benar kesakitan. Lengannya benar-benar terasa pedih, pegal dan tak karu-karuan. Ia tak menyesal, tidak. Hanya saja ia ingin menyudahi hari ini dengan berbaring ditempat tidurnya.
Duapuluh menit kemudian, ia berada didepan rumahnya. Memasukan monster yang sedari tadi meraung-raung, karena ia melaju 90 hingga 100 km/ jam. Dan membuat Marsya melampiaskan semuanya dengan raungan monster itu.
Saat memarkir monsternya diruang tamu, ia segera masuk kedalam kamarnya. Menutup pintunya, dan ia seketika itu membuka kaos kerjanya. Yang dari pagi ia kenakan, Dan benar. Terdapat bekas gigitan dilengannya denagn rona sangat merah. Banyak sekali. dan gigitan yang sangat keras itu meninggalkan memar dilengannya, menjadikan warna kulitnya berubah menjadi ungu. Benar. Itu semua sakit. Sakit sekali.
Ia lalu mengenakan kaos oblong, pergi kekamar mandi, wudu, sholat dan akhirnya ia membaringkan tubuhnya ketempat tidur. Nikmat. Walau perutnya sangat lapar. Namun ia memutuskan untuk tidur. Setidaknya dengan tidur, rasa sakit yang masih terasa dilengannya itu tak muncul. Dan lagi-lagi ia benar-benar memegang prinsip bahwa, jangan pernah menjadikan orang lain sebagai pelampiasan. Karena itu hanya menyakiti mereka.
~Marsya Sataly~
05122014: 23:01:07
“Sekarang? Aku baru selesai ngeshift Sal, gimana?”
“aku benci, sebel banget. Sinih kamu temenin aku.” Dengan nada setengah membentak.
“ada apa memangnya Sal? Kamu marah sama aku gara-gara aku sekarang gak ikut kumpul? Sorry, aku lagi bener-bener gak ada waktu Sal. Tugas kuliah lagi banyak, kalau ada jadwal langsung ngeshift, kalau gak aku ngerjain tugas.” Sambil memindahkan ponsel ke telinga kirinya.
“lah gak mau tau. Sekarang kamu kesini. Aku getet banget, pengin nimpuk orang. Angga dihubungi gak aktif. Pada kemana sih?” dengan nada mulai meninggi.
“yang lain gak ada apa? Aduh gimana ya, aku bener-bener cape banget koh Sal. Tadi aku double shift kerjanya. Berangkat jam tujuh pagi pulang jam sembilan malam ini. Besok pagi aja gimana?”
“yahhhhhhhh. Yang lain dihubungi susah. Ini juga aku ngubungi kamu paling akhir. Kata Mei kamu emang lagi sibuk banget. Sinih bentar sih.” Dengan nada memelas.
“ada apa emangnya? Bapak ibu gak pulang lagi apa?”
“ kalau gak kesini kamu bakal nyesel!” kata Saly dengan nada benar-benar membentak.
Tut tut tut. Seketika itu Saly mematikan telponnya. Saly adalah teman Marsya. Tidak begitu dekat. Hanya saja mereka sering berkumpul bersama. Saly bisa dibilang pacar Angga. Namun mereka tak pernah mengumumkan secara resmi status itu. Angga adalah adik kelas SMP Marsya. mereka dekat karena dahulu Angga dan Marsya tergabung bersama menjadi anak basket. Saly memang baru lulus SMA tahun ini. Ia begitu labil, sangat labil, mungkin karena ia masih berumur tujuhbelas tahun. Ia jauh dari orang tuanya, saat ini ia tinggal bersama pamannya. Namun tak serumah, rumahnya hanya berhadapan dengan rumah pamannya. Ia tinggal sendiri karena ia anak tunggal. Karena itu pula, rumahnya menjadi markas besar anak-anak. Angga biasa menyebut markas sama rasa, satu nada. Karena anak-anak yang biasanya datang kesitu memiliki masalah. Apapun itu. Hanya saja, mereka masih selalu mengingatkan agar tidak terjerumus ke hal yang tidak-tidak. Karena hanya anak-anak kelas kakap yang benar-benar menggunakan mabes menjadi tempat untuk nge-fly. Hanya dua sampai tiga orang. Itupun jarang sekali. Yang lain, biasanya hanya mampu menghabiskan berbungkus-bungkus rokok dan bermain-main dengan minuman soda. hanya Marsya dan Widi yang masih benar-benar waras jika mereka sudah berkumpul. Sesekali memang dua orang itu ikut, hanya saja hanya satu dua hingga tiga batang saja. Setelah Marsya bekerja dan Widi sedang skripsi, mereka mulai jarang sekali menongkrong. Angga pun juga mulai waras karena ia dekat dengan Marsya.
“Ngga, kamu dimana? “ kata Marsya sesaat mendengar telponnya sudah terhubung
“Aku di Banyumas. Ada apa?”
“Saly lagi kalap tuh. Aku sekarang mau ke mabes. Kamu lagi ngapain? Bisa ke mabes gak?”
“hah?seriusan? kamu jangan kesitu. Aku Cuma cari angin. Aku pulang sekarang. Kamu jangan kesitu.”
“aku udah sampai gangnya. Kamu makannya agak cepet ya. Dia tadi bilang kalau gak kesini
Aku bakal nyesel. Aku takut dia nglakuin sesuatu yang gak gak.”
“Sya, jangan kesitu. Pulang!”
“kenapa sih? Udahlah, aku juga gak main. aku cape. Aku Cuma kesiitu bentar. Kamu kesini, aku langsung pulang. Cepet dikit ya.”
“ Sya, mending kamu gak usah kesitu. Istirahat aja kamu.”
“hm. Makanya cepet kesni.” Marsya lalu menutup telponnya.
Disatu sisi Angga benar-benar kawatir. Ia benar-benar melaju motornya dengan cepat. Ditelponnya Widi untuk kerumah Saly itu, hanya saja ia sedang diluar kota. Angga hanya takut Marsya menjadi korban.
“ Assalamu’alaikum Sal,” kata Marsya sesampainya dirumah Saly. Terlihat tertutup rapat tak ada orang. Marsya lalu membuka pintunya, dan mabes yang biasanya rapi, setidaknya tidak termasuk dalam daftar kapal pecah, saat ini markas itu benar-benar berantakan. Benar-benar berantakan. Seketika terdengar bunyi kaca pecah. Marsya lalu berlari menuju kamar Saly, dan benar. Ia sudah memecahkan barang-barang yang berada dikamarnya. Batin Marsya berkata belum telat, syukurlah.
“kamu kenapa Sal? Tenang dulu. Tenang.”
“seketika Saly meraung-raung, menangis besar dikamar itu. Marsya hanya bisa mendekatinya pelan lalu mengelus-elus punggungnya. Setelah Saly sedikit tenang, ia menatap Marsya, seketika itu juga ia menggigit lengan kiri Marsya. Marsya sontak kaget, ia kesakitan, namun ia menahan rasa sakit itu. Marsya hanya berfikiran mungkin hanya ini yang bisa ia lakukan.
Setelah gigitan pertama muncul. Ia menggigit lengan kanan Marsya, melepasnya. Lalu menggigitnya kembali. Sambil berkata “aku geget. Aku benci. Aku sebel.” Dan berakhir dengan remasan yang sangat kuat dengan kekuatan seluruh tenaganya ke lengan Marsya. Marsya tak kuat, hingga ia hanya berkata,” sakit”.
“sakit Sal.”
Saly benar-benar menghiraukan perkataan Marsya. sejenak ia menyulutkan sebatang rokok dan berkata,” aku benci.”
“benci sama siapa?aku kah?” saut Marsya, sambil mengusap kedua lengannya pelan.
“bukan. Emangnya kamu pernah buat salah.”
“lalu? Terserah kamu, mau cerita apa gak. Setidaknya aku sudah datang kesini. Jangan bertindak bodoh Sal.”
“ ah. Persetan. Ia memukul punggung Marsya dengan kuat.”
“Sal, tenang Sal. Tenang.” Kata Marsya. Sambil memegang kedua tangan Saly.
Seketika itu, ia menggigit Marsya dengan gigitan paling keras. Sangat terasa, karena Marsya meronta kesakitan. “Sal, bener. Sakit.” Marsya sudah benar-benar lelah. Hingga ia melepas kedua tangan Saly. Dan ia hanya berkata dalam hati, “ aku ridho Ya Alloh. Ikhlas, astagfirulloh, kuatkanlah Hamba.”
Terus dan terus Marsya menyerah, ia benar-benar membiarkan Saly menggigit, memukul dan meremas lengannya. Hingga akhirnya, terdengar suara motor didepan rumah. Selang beberapa detik, suara Angga sudah terdengar memanggil nama kedua gadis itu. Dan saat melihat keduanya, ia langsung menampar Saly. Benar. ia langsung menyadarkan Saly, agar ia sadar dengan apa yang ia lakukan itu salah. Marsya yang sedari tadi sudah sangat lelah hanya tersenyum tipis, syukurlah. Ia hanya berfikiran untuk langsung pulang kerumahnya. Karena jam malam berlaku, dan lengannya benar-benar terasa nyeri teramat sangat. Angga yang melihat Marsya, seketika langsung memapah marsya,
"kamu tidak apa-apa Sya? Tadi sudah aku katakankan. Aku lihat coba sini,” sambil memegang lengan Marsya.
“aduh, sakit Ngga. Gak papa koh, paling Cuma sakit bentar.”
“alah, gak usah bilang gitu. Aku tahu Saly, dia gak pernah tanggung-tanggung kalau lagi gitu. Pasti tadi kamu benar-benar jadi pelampiasannya. Maaf banget Sya, maaf banget.”
“sante aja. Aku pulang ya, kamu juga hati-hati. Tenangin saly ya. Minta maaf juga kamu ke dia, tadi kamu udah ngawur banget.”
“bener gak papa? Aku hubungi Gandi ya biar anter kamu pulang. Kamu keliatan lelah banget, pesti juga lengan kamu kesakitan,”
“udah gak papa. Aku pulang ya. Pamiti ke Saly.”
Marsya sudah benar-benar tak kuat, batinnya berkata, ayo cepat sampai rumah. Ia melaju sangat kencang, sangat-sangat kencang, dan lampu hijau memang lagi bersahabat dengannya. Hampir setiap perempatan yang ia lalui, hampie selalu lampu hijau, sehingga ia tanpa henti, terus saja menyelusuri jalanan yang mulai sepi.
lagi-lagi air matanya tumpah. kali ini, air matanya keluar karena Ia merasa benar-benar kesakitan. Lengannya benar-benar terasa pedih, pegal dan tak karu-karuan. Ia tak menyesal, tidak. Hanya saja ia ingin menyudahi hari ini dengan berbaring ditempat tidurnya.
Duapuluh menit kemudian, ia berada didepan rumahnya. Memasukan monster yang sedari tadi meraung-raung, karena ia melaju 90 hingga 100 km/ jam. Dan membuat Marsya melampiaskan semuanya dengan raungan monster itu.
Saat memarkir monsternya diruang tamu, ia segera masuk kedalam kamarnya. Menutup pintunya, dan ia seketika itu membuka kaos kerjanya. Yang dari pagi ia kenakan, Dan benar. Terdapat bekas gigitan dilengannya denagn rona sangat merah. Banyak sekali. dan gigitan yang sangat keras itu meninggalkan memar dilengannya, menjadikan warna kulitnya berubah menjadi ungu. Benar. Itu semua sakit. Sakit sekali.
Ia lalu mengenakan kaos oblong, pergi kekamar mandi, wudu, sholat dan akhirnya ia membaringkan tubuhnya ketempat tidur. Nikmat. Walau perutnya sangat lapar. Namun ia memutuskan untuk tidur. Setidaknya dengan tidur, rasa sakit yang masih terasa dilengannya itu tak muncul. Dan lagi-lagi ia benar-benar memegang prinsip bahwa, jangan pernah menjadikan orang lain sebagai pelampiasan. Karena itu hanya menyakiti mereka.
~Marsya Sataly~
05122014: 23:01:07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar