Hujan turun begitu deras, menghangatkan, menyejukkan. Hari ini Marsya memang tidak banyak beraktifitas. Karena lagi-lagi entah mengapa ia enggan tuk pergi kekampus. Mungkin karena ia sedang jauh dari Pencipta. Ia hanya sering berkata disela-sela kegiatannya “maafkan hamba-Mu yang keji ini Ya Robb.”
Benar, sebenarnya ia ingin sekali beruzlah. Setidaknya kali ini benar-benar sendiri. Mengikuti kaki melangkah, melihat keindahan-Nya, mendatangkan kehadiran dirinya sendiri, dan mencari ilham. Tanpa mencari seseorang yang dituju. Karena menurutnya, ilmu itu sungguh sangat luas, terbentang tinggi, dan berserakan seperti semua manusia yang ada dibumi ini. Ia benar-benar menghargai ilmu. Baginya ilmu laksana semburat cahaya yang mampu menerangi segala hal yang hitam pekat, legam tak berkesudahan.
Kali ini hujan sungguh sangat deras. Sangat deras. Membuat tubuhnya yang sedari tadi sudah lelah bekerja, protes pada tuannya untuk berbaring tidur. Namun entah mengapa, Marsya. Benar-benar ingin bercumbu dengan kawan barunya ini. Dengan sedikit tak sabar, karena ia sedang dan selalu belajar ilmu sabar, gadis itu membuka halaman yang sudah ia tandai. Hanya membutuhkan waktu satu setengah jam. Ia telah mencumbui, meraba seluruh halaman, meresapi saripati danmendapat hujatan keras, yang pasti hujatan pengobar semangatnya yang selalu meletup-letup.
Idah mengajarkannya tentang kesederhanaan, Ucon tentang pencarian jatidirinya, buruak kamba dengan kesetiakawanan dan toleransi yang tinggi, Joni dengan lagu tak ada yang abadi, Johan dengan perjuangan kehidupannya, Pak Latif dengan segala kesabaran dan keridhoannya, serta Muhammad Fatih. Dengan segala hal kegigihan, pengorbanan, dan ketulusan hatinya.
Memang benar, semua hal yang terjadi disetiap detik manusia hanyalah episode. Runtutan episode yang dengan mudah berubah sewaktu-waktu. Terkadang sedih, terluka, senang, tertawa, menderita, marah, bahagia. Namun ingat, semua itu hanyalah episode, semua akan berlalu, dan Tuhan pasti akan menghantarkan manusia ke episode yang terbaik.
Gadis itu kembali berfikir, bahwa uzlah tak begitu penting. Yang terpenting adalah ia bahagia. Dengan cara menyenangkan orang lain. Dan tak ada yang lebih membahagiakan selain membuat orang lain bahagia. Melihat orang lain tersenyum lebar dan membuat mereka tertawa lepas mengurai segala beban yang sedang dipikulnya.
Dan lagi-lagi, ia berkata dalam hati, “ semua akan kulakukan, tulus tanpa pamrih. Tanpa menodai sesuatu, bening, murni, tak terbatas dan semua berasal dari relung hatiku.”
“Dan, aku sangat bersyukur bahwa Tuhan telah menciptakanku. Aku. Marsya. Hamba-Mu yang lalai ini, hanya mampu berterimakasih. Terimakasih Tuhan. Aku mencintai-Mu. Aku mencintai-Mu Tuhan. Aku mencintai-Mu Sang Pencipta. Maaf, mohon ampun Ya Alloh. Hamba-Mu yang hina ini telah lancang. Astagfirulloh. Ampun Ya Alloh. Ampunilah segala kekhilafanku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar