Tidak tau mau memulai dari mana.
Tidak tau juga berawal dari mana.
Bisa jadi semua baru dimulai, atau mungkin ini akan berakhir.
Ya,
Ia tak paham.
Ia tak mengerti.
Ia tak tahu,
Ini sulit untuk dimengerti batinnya,
decakan di mulutnya mengakhiri ketidaktahuannya.
Lagi,lagi dan lagi.
Decakan itu timbul,
akibat pikirannya yang berkeliaran,
mencoba untuk mengerti.
Tapi sedetik kemudian ia pasrah.
Ia tidak mengerti sesuatu itu bisa terjadi.
Lalu ia mencoba memikirkannya kembali,,,
Mencoba mengerti apa yg terjadi,
Mencoba memahaminya,
Mencoba menerima dgn sisa kesadaran yg ia miliki.
Ia mulai bertanya-tanya dalam hati,
Apa yg harus kulakukan?
Apa ak hrs menerimanya?
Apa aku harus memaksakan untk menerimanya?
Apa aku pura2 saja menerima?
Apa aku mau ttp tinggal diam?
Apa aku kudu menerima sesuatu yang akunya saja blm tahu.
lantas,bagaimana aku menerimanya?
Apakah biarkan saja sesuatu itu, menjadi rahasia alam?
menjadi rahasia yang sampai kapanpun tak akan terkuak?
entahlah. . .
ia mengakhiri dialog panjang batinnya dengan kepasrahan.
selang beberapa menit,
Ia mencoba bernafas,dengan tarikan panjang yang tak ingin ia lepas.
namun,tarikan itu tak mengubah apapun,
sesuatu itu tetap tak dapat hilang dalam benaknya.
"aish" ia bergeming.
pikiran ia berkecamuk,pikirannya tak berkesudahan.
tes,
satu manik air jatuh,,
manik yang ia selalu simpan itu,
perlahan tapi pasti berjatuhan.
seperti tetesan air kala rintik hujan turun,
mewakili apa yang sdang ia rasakan.
karena itu pula ia mampu bertahan untuk tidak mengeluarkan air mata indahnya.
memang,air mata yang turun itu indah,
menyejukan,
mendamaikaan,
menenangkan.
hingga ia dapat melupakan sejenak apa yang ia rasakan.
jari jemarinya mengetuk-ngetuk lantai,
ia mencoba menilik kedalam relung hatinya,
dan saat itu,
tiba-tiba terbesit kata-kata indah yang berasal dari sahabatnya.
"meskipun tak ada bahu untuk bersandar, tetap akan ada lantai untukmu bersujud".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar