Saat ini, ia terbaring lemah tak berdaya. Untuk kesekian kalinya, ia berada dalam titik lemah kehidupannya.Tak ada yang melihat, satu manusiapun terkecuali ayahnya. Ayahnya, hanya mampu mendekati dan mengelus pundaknya, dan tak ada satu katapun terucap di bibirnya.
Sudah sekian minggu,ia seperti itu. Menjalankan hidupnya dengan setengah hati. Semangatnya menghilang entah kemana. Bukan cuma pakaiannya yang sangat lusuh. Tampilan yang sangat berantakan. Di tambah tubuhnya yang semakin kurus seperti triplek kata tetangganya.
Ia benar-benar hancur, entah apa yang ada dibenakknya. Ia benar-benar terlihat lelah. Namun, ada satu hal yang membuatnya berbeda. Ia semakin menyendiri. Selalu menyendiri ditengah keramaian. Sesekali ia berkumpul dengan teman-temannya, pasti ada satu moment ia duduk sendiri. termenung duduk membisu. seakan-akan ia sedang mendengar ritme detak jantungnya. dan saat teman menghampirinya. dan bertanya, "sedang apa kau?" ia hanya menyeletuk “ menikmati alam” katanya.
Sebenarnya, ia tidak sendiri. Ia sedang bersama-sama alam, mencoba mendekati Sang kholiq. Ya, dia benar-benar ingin selalu dekat dengan Sang Pembuat Hidup.
Walau demikian, bahasa tubuhnya mengutarakan yang lain. Seakan-akan ia menemukan sesuatu hal yang baru. Seakan-akan bahasa tubuhnya berkata walaupun sudah ada lantai untuk bersujud, ia tetap membutuhkan sandaran bahu orang lain.
Sangat tersirat memang, namun jika diamati lebih dalam bahasa tubuhnya berkata demikian. Dia sangat pintar menutupinya, seolah-olah hidupnya tak pernah menemui masalah, bahkan hampir sebagian temannya bersandar di bahunya. Bisa karena mereka merasa letih, karena beban yang mereka pikul sangat berat. Bisa karena mereka sudah terbiasa bersandar sejenak untuk istirahat. Bisa jadi karena mereka sudah nyaman dengannya,ataupun mereka hanya rindu dengan kekonyolannya.entahlah.
Nyatanya, tidak. Ia benar-benar seperti manusia biasa yang memiliki masalah. Ia sangat lemah walau untuk memapah dirinya sendiri. Saat ini, hanya dinding yang mampu dan setia memapahnya. hanya angin malam, rintik hujan, dan kegelapan malam yang menemaninya. Tak mengapa, sudah cukup mereka semua untukku. Seolah bahasa tubuhnya menolak kalimat itu. seakan-akan ia berkata aku berbohong.
Saat ini, dibenaknya. Terlihat jelas untuk menghilang. Bukan, sebenarnya ia takut suatu saat dirinya menghilang tanpa sadarnya. Dirinya, takut jika suatu saat dirinya bukan dia. Ia takut semua pelan tapi pasti menjauh darinya.
Dan satu kalimat terakhir disetiap lamunannya, “ aku hanya ingin semua baik-baik saja. Dan berjalan sesuai semestinya. Hanya itu. itu saja. “ Terdengar samar, pelan dan selalu menghilang pergi bersama angin yang bertiup kencang.