Jumat, 25 Juli 2014

malam. malam,,,



“Malam lagi, malam lagi, malam lagi” ia bergumam.
Malam ini, bebeda dengan malam-malam sebelumnya,
Pakaian yang ia kenakan tidak selusuh kemarin.
Namun,
apabila sepasang mata lain yang biasa melihatnya,
ia tetap sama seperti biasanya.
Raut wajahnya redup,,,
mendung,,
suram.

Saat ini, ia berada ditempat itu,
Tempat dimana ia selalu mengurai apapun yang dirasakannya.
Berbeda dengan sebelumnya,

Kali ini,,
Ia membawa kotakan persegi panjang kecil, berwarna hitam yang berisi sesuatu yang berjejer rapi memenuhi kotak itu.
Ditemani, dengan sebuah kotak yang lebih kecil berwarna putih yang sudah ia miliki beberapa minggu lalu.
Batinnya berbicara “Mungkin sudah saatnya aku kembali”. (sembari melihat kotakan hitam disampingnya itu).

Pedih,sakit dan seketika ia sulit untuk bernafas.
Pikirannya kini dipenuhi memori kelam masa lalunya.
Tanpa sepengetahuan alam bawah sadarnya,
Jari jemarinya sudah meraih dan meraba kotakan itu.
Seketika ia mengenggam dan mulai membuka kotakan hitam itu.
Ibu jari dan jari telunjuknya berusaha untuk mengambil satu buah batang yang ada didalamnya.
Ia lalu mencium ujung batang itu dan tidak sampai hitungan ketiga secerca cahaya ia hadirkan.

Dengan perlahan, ia menghisap udara ke dalam,
lalu seketika ia mengeluarkan udara itu kembali bersama kepulan kecil kabut hitam tak beraturan.
Saat itu pula ia merasakan senyum tipis di bibirnya.
Lagi,dan lagi ia mengulangi hal yang sama,
Hingga kedua bola matanya melihat kepulan asap kecil terbang tanpa arah melintas diatas kepalanya,
melewati jendela yang terbuka lebar,
mengikuti kepergian kabut hitam kecil yang seakan-akan telah ditelan dinginnya malam.
Seketika itu,ia melihat hamparan langit yang menenangkan, dengan dihiasi beribu Bintang serta hangatnya Sang Rembulan.

Sontak ia kaget. Tubuhnya sudah sedikit bangun untuk berdiri tegak,
Namun, ia tak kuasa. Tubuhnya tak bersahabat dengan dirinya.

Ia mulai terjatuh lunglai,
tergolek lemah tak berdaya dipapah oleh dinding bisu yang usang.
Ia menunduk, mencoba berusaha menelan sisa air ludah yang menggenangi rongga mulutnya.
Pahit batinnya.
Dan tak bisa terelakan lagi,
butir demi butir yang tidak pernah ia harapkan kehadirannya.
Saat ini terjun bebas tanpa izin pemiliknya.
Ya,,,
Ia menyerah,,,
disusul rongrongan halus yang keluar dari mulutnya,
Belum genap detik ke tujuh saat rongrongan itu,
Sudah disertai raungan keras menyakitkan,
yang menghancurkan kesunyian malam, membuyarkan suara jangkring, memecahkan keheningan.
Perasaannya tumpah ruah bagaikan ember besar yang dinanti para pengunjung Owabong.
Ia menangis lepas, selepas tiupan angin malam yang menusuk kulit.
Selepas pederitaan yang ia derita,selepas hinaan ya ia dapat, selepas apapun yang menyesakkan nafasnya.

Rintik hujan lagi lagi datang.
Sejuk, damai, menghangatkan.
Hanya beberapa menit rintik hujan membasahi jalanan yang mulai sepi.
Hanya beberapa menit pula, ia merasakan kesetiaan kawan yang selalu menemani kesendiriannya.
Angin tiba-tiba berhembus kencang,
Terdengar samar,angin membisikan telinganya “tenanglah,semua pasti akan baik baik saja”.


Ia tersenyum lebar.
Ia lalu menyeka butiran air yang masih menggantung di bulu matanya.
Ia lalu menenggelamkan dua kotakan yang dibawanya tadi kedalam sakunya,
Ia mencoba berdiri dengan sisa tenaga yang ia miliki,
Ia lalu menyempatkan diri, sebentar.

Menengadah ke atas langit,
Dan hati kecilnya berbicara

“Aku akan memegang teguh perkataan yang sudah aku lontarkan, beberapa tahun silam. Aku akan tetap ingin menjadi Sang Rembulan yang selalu menghangatkan dan menentramkan hati semua orang. Dan akan Ku pastikan, aku akan tetap beusaha menjadi Bintang yang akan selalu menyulutkan secerca cahaya yang bernama harapan kepada semua insan. Terimakasih malam, lagi-lagi kau mengingatkanku akan sebuah arti hidup”.



Rabu, 23 Juli 2014

malam,

saat ini ia tergolek lesu,
ia tak berbicara sepatah katapun,
ia diam seribu bahasa,
isak tangis tak keluar,
melainkan hanya ada goncangan dahsyat di tubuhnya.
yang hanya bisa ia lakukan adalah membenamkan wajahmya, kesela-sela lekukan tubuh yang dibuatnya.
ia tertegun,
sesekali menelan ludahnya,
sesekali keluar desiran angin dr lobang hidungnya,
sesekali muncul gertakan hebat tak terelakan dari barisan giginya,yang menambah riuh gejolak hatinya.
jari jemarinya mulai menghentakan permukaan bumi,dg hentakan rendah tak menimbulkan kesudahan.
kini,manik hitam di kelopak matanya,mulai bermain.
bermain dgn perasaan yg menghantuinya.
dan lagi lagi,
rintik hujan,angin yg brhembus kencang,dan kesunyian malam yang setia menemaninya.
dan tak jemu jemu mereka,mereka seakan berkata "tidak apa-apa,semua akan baik baik saja".

Jumat, 11 Juli 2014

bocah plontos dan seorang gadis



Kepala plontos bocah itu terlihat dari kejahuan. Bocah dengan postur tubuh besar dan kekar sedang memcoba memainkan layangan yang ia temui di tong
sampah. Ketika seorang gadis mendekatinya ia memandangnya sesaat, ia menyapa “mba lisa“ sembari melebarkan senyumnya dan hampir saja terlihat
seluruh giginya. Berapa detik kemudian ia kembali mencoba membuat layangan itu mengudara. Membuat gadis itu, membendung niatnya untuk membalas sapaannya. Ia hanya tersenyum tipis melihat tingkah polos bocah itu yang mencoba mengudarai layangan yang sudah sedikit robek. Batinnya berbicara,tidak mungkin bisa layangan itu terbang.


Sesaat kemudian, bocah itu duduk beristirahat, dari raut wajahnya terlihat sekali ia memikirkan bagaimana caranya agar layangan itu bisa mengudara.
wajah polosnya itu, membuat gadis yang duduk disebrang jalan menjadi tersenyum geli. namun, sedetik kemudian bocah itu merubah raut wajahnya. Ia lalu menenggelamkan wajahnya kedalam dekap tangannya. Gadis itu, melihat jelas apa yang sedang dilakukan bocah 8 tahun itu. Ia memperhatikan setiap gerakan yang bocah itu ciptakan. Ia bergumam, Ada apa dengan bocah ini? apa ada yang salah?


Gadis ini, perlahan mencoba mendekati bocah itu, ia mengelus kepalanya, berbicara dengan hati-hati “kenapa?”. Tidak sampai hitungan ketiga bocah itu
menengadah wajahnya menghadap ke gadis itu, sambil nyengir ia berkata “oo ora aaanna apapa”. Lalu ia ngluyur pergi memanggil temannya dan seperti biasa ia mulai membuat teman-temannya tersenyum bahagia. Walau entah mereka melihat tingkahnya yang polos atau menertawakan kekurangannya.


Gadis itu lalu menghelai napas, bocah yang dewasa. Ada apa dengannya? padahal terlihat jelas dalam kedua kelopak bocah itu,hitam legam, memancarkan kesenduan. Ia mencoba berbicara dengan sorot matanya, bahwa ia merintih kesakitan, meronta-ronta perih, dan menahan kepedihan. Bocah itu, seakan-akan mencoba berbicara dengan suara yang hampir tidak bernada “lihatlah aku, temani aku”.

Gadis itu melihat bocah itu kini sendiri lagi, bocah itu duduk dengan menatap langit. Setelah itu, ia melihat orang-orang yang ada disekitar, dan tiba-tiba ia bergumam sendiri.
Sontak gadis itu kaget, mengapa bocah itu bicara sendiri? Akankah ia merasa sendirian di tengah riuhnya orang-orang disekitar? Apakah disaat sepi, ia merasakan keramaian? Entahlah gumam gadis itu, buntu dengan pikiran yang dibuatnya sendiri.

. . . . . . . . . . . .