“Malam lagi, malam lagi, malam lagi” ia bergumam.
Malam ini, bebeda dengan malam-malam sebelumnya,
Pakaian yang ia kenakan tidak selusuh kemarin.
Namun,
apabila sepasang mata lain yang biasa melihatnya,
ia tetap sama seperti biasanya.
Raut wajahnya redup,,,
mendung,,
suram.
Saat ini, ia berada ditempat itu,
Tempat dimana ia selalu mengurai apapun yang dirasakannya.
Berbeda dengan sebelumnya,
Kali ini,,
Ia membawa kotakan persegi panjang kecil, berwarna hitam yang berisi sesuatu yang berjejer rapi memenuhi kotak itu.
Ditemani, dengan sebuah kotak yang lebih kecil berwarna putih yang sudah ia miliki beberapa minggu lalu.
Batinnya berbicara “Mungkin sudah saatnya aku kembali”. (sembari melihat kotakan hitam disampingnya itu).
Pedih,sakit dan seketika ia sulit untuk bernafas.
Pikirannya kini dipenuhi memori kelam masa lalunya.
Tanpa sepengetahuan alam bawah sadarnya,
Jari jemarinya sudah meraih dan meraba kotakan itu.
Seketika ia mengenggam dan mulai membuka kotakan hitam itu.
Ibu jari dan jari telunjuknya berusaha untuk mengambil satu buah batang yang ada didalamnya.
Ia lalu mencium ujung batang itu dan tidak sampai hitungan ketiga secerca cahaya ia hadirkan.
Dengan perlahan, ia menghisap udara ke dalam,
lalu seketika ia mengeluarkan udara itu kembali bersama kepulan kecil kabut hitam tak beraturan.
Saat itu pula ia merasakan senyum tipis di bibirnya.
Lagi,dan lagi ia mengulangi hal yang sama,
Hingga kedua bola matanya melihat kepulan asap kecil terbang tanpa arah melintas diatas kepalanya,
melewati jendela yang terbuka lebar,
mengikuti kepergian kabut hitam kecil yang seakan-akan telah ditelan dinginnya malam.
Seketika itu,ia melihat hamparan langit yang menenangkan, dengan dihiasi beribu Bintang serta hangatnya Sang Rembulan.
Sontak ia kaget. Tubuhnya sudah sedikit bangun untuk berdiri tegak,
Namun, ia tak kuasa. Tubuhnya tak bersahabat dengan dirinya.
Ia mulai terjatuh lunglai,
tergolek lemah tak berdaya dipapah oleh dinding bisu yang usang.
Ia menunduk, mencoba berusaha menelan sisa air ludah yang menggenangi rongga mulutnya.
Pahit batinnya.
Dan tak bisa terelakan lagi,
butir demi butir yang tidak pernah ia harapkan kehadirannya.
Saat ini terjun bebas tanpa izin pemiliknya.
Ya,,,
Ia menyerah,,,
disusul rongrongan halus yang keluar dari mulutnya,
Belum genap detik ke tujuh saat rongrongan itu,
Sudah disertai raungan keras menyakitkan,
yang menghancurkan kesunyian malam, membuyarkan suara jangkring, memecahkan keheningan.
Perasaannya tumpah ruah bagaikan ember besar yang dinanti para pengunjung Owabong.
Ia menangis lepas, selepas tiupan angin malam yang menusuk kulit.
Selepas pederitaan yang ia derita,selepas hinaan ya ia dapat, selepas apapun yang menyesakkan nafasnya.
Rintik hujan lagi lagi datang.
Sejuk, damai, menghangatkan.
Hanya beberapa menit rintik hujan membasahi jalanan yang mulai sepi.
Hanya beberapa menit pula, ia merasakan kesetiaan kawan yang selalu menemani kesendiriannya.
Angin tiba-tiba berhembus kencang,
Terdengar samar,angin membisikan telinganya “tenanglah,semua pasti akan baik baik saja”.
Ia tersenyum lebar.
Ia lalu menyeka butiran air yang masih menggantung di bulu matanya.
Ia lalu menenggelamkan dua kotakan yang dibawanya tadi kedalam sakunya,
Ia mencoba berdiri dengan sisa tenaga yang ia miliki,
Ia lalu menyempatkan diri, sebentar.
Menengadah ke atas langit,
Dan hati kecilnya berbicara
“Aku akan memegang teguh perkataan yang sudah aku lontarkan, beberapa tahun silam. Aku akan tetap ingin menjadi Sang Rembulan yang selalu menghangatkan dan menentramkan hati semua orang. Dan akan Ku pastikan, aku akan tetap beusaha menjadi Bintang yang akan selalu menyulutkan secerca cahaya yang bernama harapan kepada semua insan. Terimakasih malam, lagi-lagi kau mengingatkanku akan sebuah arti hidup”.