Sudah beberapa hari langit begitu murung. Sudah beberapa hari pula hujan datang, menghangatkan, menyejukan, menenangkan. Tampak-tampaknya saat ini Sang Fajar sedang malu menampakkan sinarnya, hanya sesekali dengan frekuensi ringan, sinarnya menyinari bumi hanya untuk menyinari sejenak, membiarkan tanaman bersegera untuk berfotosintesis, mengeringkan pakaian para makhluk Tuhan yang kurang bersyukur, dan membuat Gadis itu terbawa suasana. ya, gadis itu sangat menikmati kehadiran kawannya dan enggan memikirkannya lagi. Memikirkan semua yang sudah terjadi. Ia benar-benar menyibukkan diri dengan segala hal yang dilewati. Hm, tak benar-benar tidak memikirkannya, tidak. Apalagi bukan sepenuhnya tak memikirkan laki-laki itu. bukan. Bukan seperti itu. hanyasaja, gadis itu, selalu berusaha menghiraukan perasaan di lubuk hatinya. Ia hanya ingin mengumpulkan segenap rasa yang masih menghantui disetiap sisi ruang hatinya. Ia hanya ingin membungkus rapi kenangan indah bersamanya dan cukup meletakkan bungkusan kenangan itu disatu sisi dalam relung hatinya, sangat dalam sangat jauh. Hanya itu. itu saja.
Gadis itu tak berusaha mencari dambatan hatinya. Tidak. Ia hanya membiarkan semua berjalan, sesuai skenario Tuhan. Memang, campur tangan-Nya tak pernah lepas dari kehidupan hamba-Nya barang sedetik. Tidak pasrah, tidak. Karena ia akan tetap menjalani semuanya,tetap berusaha tak berpangku tangan. dan pelan tapi pasti ia meyakini bahwa jodohnya, pasti akan bertemu dengannya suatu hari nanti.
Ada yang bilang jodoh bukan ditangan-Nya, haha. Bebas saja, karena negara ini demokratis. Begitupun gadis itu, ia juga bebas, menentukan jalan hidupnya sendiri bukan? Ya. Ia hanya pernah mendengar seseorang berkata, semua itu ada saatnya. Jika bukan saatnya, ya berarti bukan waktunya. Urung wayahe kalau orang Jawa bilang. So, ia tetap tenang dengan dirinya sendiri.
“Lembaran hidup manusia memang seperti lembaran kertas. Terkadang perlu lembaran baru, terkadang harus melihat lembaran yang lama, terkadang ada lembaran yang hilang, sobek dan kotor, tak apa, itulah kehidupan. Semua hanya episode, episode yang lambat laun akan berakhir di pelabuhan terakhir bernama kematian. Tak perlu dipungkiri, karena semua hal adalah pilihan dan dari pilihan itu selalu ada resiko yang mengikuti. So, hadapilah. Bukankah jika seseorang hidup didunia ini. Itu berarti juga, ia telah menanggung resiko jika suatu saat nanti pasti kematian akan menjemputnya?” batinnya mulai berbicara.
Sudahlah, hidup harus tetap diperjuangkan. Bukankah kau ingin menjadi kupu-kupu? Bukankah kau ingin menjadi permata? Bukankah kau ingin menjadi astronot? bukankah kau ingin menjadi bulan? Bintang? Atau bahkan air? Dan Bukankah kau ingin meninggalkan sesuatu sebelum kau pergi?
“Sudahlah. Aku hanya menunggumu. Menunggumu menjadi semua itu. tidak. Aku tak mengharuskan kau menjadi seperti itu semua. Tidak. Hanya saja, Setidaknya aku ingin kau menjadi dirimu sendiri Sya. Itu cukup.” Konflik batinnya mulai memuncak.
“baiklah. Aku akan selalu tetap menjadi diriku sendiri. Dengan natural, hanya saja aku ingin seperti mereka itu. bukankah aku menyandang sebuah nama yang apik, aku takkan membiarkan nama itu hanya menjadi nama. Aku ingin mengatakan bahwa Ya. Nama itu pantas aku sandang, dan aku benar-benra akan berubah menjadi sesuatu. Sesuatu yang mungkin akan mengubah dunia menjadi lebih baik. Bukan dengan kekuatan, bukan dengan peperangan, melainkan dengan rasa welas asih , dan dimulai dengan ujung pena. Berkarya, terus berkarya, dan selalu berkarya.” Ujar Marsya Sataly dengan lantang berkata didepan langit pergantian tahun baru, dan lagi-lagi air matanya jatuh. Air mata
bahagia yang berasal dari energi baru didalam jiwa dan raganya.
Selamat tinggal masa lalu,,, selamat datang dunia baru . . .